FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPEMILIKAN ASURANSI
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Serlie Littik1
Abstract: Everyone has right
to get protection. Health insurance is one of those ways, because some research
had proven that health insurance could increase access to health service
facilities. The aim of this study is to know factors that related to the health
insurance ownership in East
Nusa Tenggara
Province by using
National Social Economic Survey (Susenas). Adjusted Wald test was used to know
the relationship. The result of this study shows that factors related to
insurance ownership in East
Nusa Tenggara
Province are age,
education, area, income, distance and transportation.
Keywords: insurance ownership,
adjusted wald test, susenas
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sehat jasmani dan rohani sangat mendukung
kebahagiaan manusia sekaligus menggambarkan kualitas hidup, sehingga sering
digunakan sebagai syarat untuk pemilihan para pemimpin.
Deklarasi Hak
Asasi Manusia pasal 25 menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapat
perlindungan untuk beberapa kondisi yang dialami, antara lain saat sakit. Salah
satu bentuk perlindungan terhadap diri setiap orang adalah melalui kepemilikan
asuransi.
Secara teori,
asuransi kesehatan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan akses/jangkauan
masyarakat ke fasilitas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan ketika sakit. Hal
ini disebabkan karena dengan adanya asuransi kesehatan, hambatan finansial
masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan dapat dikurangi.
Berbagai hasil
penelitian telah membuktikan bahwa kepemilikan asuransi kesehatan memberikan
dampak positif terhadap penggunaan fasilitas kesehatan (Hidayat, et al, 2004;
Setyowati dan A.Lubis, 2003; Trujillo, 2003; Yuliawati, 2002; Liu, et al, 2002;
Hsia, et al, 2000; Waters, 2000). Hasil
yang sama juga diperoleh Szilagyi, et al (2004) bahwa seperti halnya pada
penggunaan bivariat, hasil analisis dengan multivariat mengindikasikan bahwa
peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan tidak disebabkan oleh faktor
demografi atau faktor-faktor pelayanan kesehatan yang pernah diterima. Jadi
dapat disimpulkan bahwa asuransi meningkatkan akses, kesinambungan dan kualitas
pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hasil
perhitungan Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2000, baru 21% penduduk
Indonesia yang terlindungi oleh asuransi kesehatan / jaminan sosial (Riyadi
dkk, 2001). Sedangkan untuk Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), penduduk yang
memiliki jaminan/asuransi kesehatan hanya 8,36% (325.064 orang) dari 3.888.735 penduduk
(Dinkes NTT, 2003).
Kepemilikan
asuransi yang demikian minim mengisyaratkan cukup banyak penduduk yang belum
dapat mengakses pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan. Masalah kesehatan
yang makin banyak ditambah dengan peningkatan biaya kesehatan membuat beban
masyarakat kian bertambah. Ketika sakit, banyak diantara anggota masyarakat
yang memilih untuk mengobati sendiri sakit mereka dengan menggunakan obat
tradisional atau bahkan pergi ke pengobatan alternatif. Mengabaikan keluhan
sakit yang dirasakan adalah hal yang cukup banyak dilakukan oleh masyarakat.
Beberapa kemajuan
telah dicapai dalam pembangunan daerah. Dari sisi politis penerapan
desentralisasi dan otonomi daerah, serta pemekaran propinsi dan kabupaten/kota
telah memberikan ruang gerak kepada pemerintah daerah untuk menentukan
kebijakan yang lebih tepat bagi daerahnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepemilikan asuransi kesehatan di Propinsi NTT. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh
Pemerintah daerah Propinsi NTT untuk pengambilan keputusan yang tepat.
Pemerintah dan swasta perlu berperan aktif dalam memberikan perlindungan
kesehatan bagi masyarakat Propinsi NTT, sejalan dengan pilar pembangunan sumber
daya manusia NTT yang mengutamakan aspek kesehatan dan pendidikan.
Asuransi Kesehatan
Dalam hidup ini,
manusia tidak bisa secara mutlak terhindar dari bahaya baik itu sakit,
kecelakaan, bencana alam, tindakan kriminal bahkan kematian. Beberapa
diantaranya membawa dampak berupa kerugian ekonomi. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk menghadapi kemungkinan kerugian itu adalah melalui sistem
asuransi (HIAA, 2000).
Asosiasi Asuransi Kesehatan Amerika
(HIAA) mendefinisikan asuransi kesehatan sebagai :
“…Plan of risk management that, for a price,
offers the insured an opportunity to share the costs of possible economic loss
through an entity called an insured.”
Esensi asuransi adalah
mendistribusikan resiko/bahaya, (HIAA,
2000). Jadi asuransi pada dasarnya adalah suatu menajemen resiko, dimana kepada
para pesertanya ditawarkan kesempatan untuk bersama-sama menanggung kerugian
ekonomi yang mungkin timbul, dengan cara membayar premi kepada perusahaan
asuransi.
Asuransi kesehatan merupakan salah satu upaya untuk mendekatkan akses
masyarakat kecil ke pelayanan kesehatan. Seperti diketahui, selama ini biaya
kesehatan di Indonesia amat mahal dan relatif belum terjangkau sebagian besar
masyarakat Indonesia (Kompas, 08 Maret 2005). Kecenderungan meningkatnya biaya
pemeliharaan kesehatan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang dibutuhkannya. Keadaan ini terjadi terutama pada keadaan dimana
pembiayaannya harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistim
tunai (fee for service) (www.jpkm-online.net).
Dua fungsi dasar dari asuransi kesehatan adalah memastikan akses terhadap
perawatan kesehatan kesehatan yang efektif jika diperlukan dan secara efektif
melindungi pendapatan dan aset keluarga dari mahalnya biaya perawatan kesehatan.
Jadi, fungsi asuransi kesehatan yang terpenting
adalah untuk melindungi rumah tangga dan individu dari beban pembayaran yang
dikeluarkan dari kantong sendiri (out of pocket) untuk biaya-biaya perawatan
medik.
Di Indonesia, berdasarkan studi, 20%
dari masyarakat terlindungi oleh salah satu jaminan pemeliharaan kesehatan
(asuransi kesehatan) di tahun 2001. Dari mereka yang terlindungi oleh asuransi
kesehatan, kira-kira setengah dari mereka tergabung dalam Askes. Masyarakat
yang berada di bawah garis kemiskinan dan yang tinggal di daerah pedesaan tidak
terlindungi oleh kebanyakan program kecuali oleh Kartu Sehat (Riyadi, dkk.,
2005).
Ketersediaan asuransi kesehatan dalam data Susenas 2004 yaitu merujuk pada
keikutsertaan penduduk menjadi peserta asuransi kesehatan. Jenis asuransi meliputi : Askes,
Astek/Jamsostek, Perusahaan/Kantor, Asuransi lain, Dana Sehat, Kartu Sehat dan
JPKM.
Dalam penelitian
ini, yang dimaksud dengan kepemilikan asuransi kesehatan adalah ketersediaan
asuransi untuk keperluan rawat jalan/rawat inap. Untuk keperluan analisis, asuransi kesehatan
terbagi atas 4 kategori.
Askes (Asuransi Kesehatan)
Adalah asuransi kesehatan bagi pegawai
negeri, pensiunan dan keluarganya, yang dikelola oleh PT Persero Askes. Termasuk pegawai swasta yang ikut program Askes
Astek (Asuransi
Tenaga Kerja) / Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) dan Asuransi
Perusahaan/kantor
Astek/Jamsostek
adalah asuransi bagi tenaga kerja swasta yang dikelola oleh PT Astek. Sedangkan
yang dimaksud dengan asuransi perusahaan/kantor adalah perusahaan/kantor yang
menyediakan biaya atau tempat berobat bagi karyawan dan mungkin keluarganya
bila sakit
JPKM (Jaminan
pembiayaan kesehatan Masyarakat)
Adalah suatu cara
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan paripurna berdasarkan azas usaha bersama
dan kekeluargaan yang berkesinambungan dan dengan mutu terjamin serta
pembiayaan yang dilaksanakan secara pra-upaya. Pembiayaan secara pra-upaya
adalah pembiayaan kepada pemberi pelayanan kesehatan yang dibayar dimuka
(pra-upaya) oleh badan penyelenggara untuk memelihara kesehatan peserta JPKM.
Pra-upaya juga berarti bahwa peserta JPKM membayar dimuka sejumlah iuran secara
teratur kepada badan penyelenggara agar kebutuhan pemeliharaan kesehatannya
terjamin.
Kartu sehat
Kartu sehat adalah kartu yang digunakan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga tidak mampu, yang
dikeluarkan oleh pemerintah setempat.
Pengertian masing-masing asuransi di atas sesuai dengan Pedoman Pencacah
Kor yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS, 2003). Di luar
kepemilikan asuransi diatas, maka dikelompokkan kedalam penduduk yang tidak
mempunyai asuransi.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Studi ini menggunakan data sekunder gabungan dari
Kuesioner Modul Perumahan dan Kesehatan (VSEN2004.MPK) dan Kuesioner Kor
(VSEN2004.K) Susenas 2004, Subset data Propinsi NTT. Rancangan Susenas 2004 ini
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menggunakan desain cross
sectional.
Populasi dan Sampel
Populasi sasaran yang termasuk sampel analisis ini adalah
semua penduduk di Propinsi NTT pada tahun 2004. Yang menjadi sampel penelitian
ini adalah semua individu yang menjadi sampel Susenas 2004.
Analisis Data
Analisis
Univariat dilakukan untuk melihat sebaran/distribusi masing-masing variabel yang
diteliti. Dari hasil analisis univariat, pada beberapa variabel dilakukan
pengelompokkan menjadi variabel baru dengan kategori yang disesuaikan untuk
keperluan analisis selanjutnya.
Analisis Bivariat
dilakukan untuk melihat adanya hubungan/perbedaan secara statistik antara
tiap-tiap parameter (kategori). Uji yang digunakan adalah Adjusted Wald Test. Uji kemaknaan dilakukan dengan
menggunakan a=0,05 dan confidence
interval 95%, dengan ketentuan jika
:
Pvalue > 0,05 berarti Ho gagal ditolak (Pv > a)
Uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan/perbedaan yang bermakna
Pvalue <= 0,05 berarti Ho ditolak (Pv <= a)
Uji statistik
menunjukkan adanya hubungan/perbedaan yang bermakna
HASIL
Karakteristik
Responden
Penelitian ini
menggunakan data gabungan dari Kuesioner Modul Perumahan dan Kesehatan dan
Kuesioner Kor Susenas 2004. Karena data yang digunakan merupakan data gabungan,
maka tiap rumah tangga diwakili oleh 1 (satu) orang sebagai responden sehingga
jumlah responden seluruhnya adalah 1788.
Dari total
responden, 48,49% diantaranya adalah laki-laki dan 51,51% adalah
perempuan. Sedangkan berdasarkan tipe
daerah, 83,05% responden tinggal di daerah pedesaan sedangkan 16,95% responden
tinggal di daerah perkotaan. Sebagian besar responden adalah individu yang
telah menikah (67,34%) dengan tingkat pendidikan terbanyak (65,49%) adalah
tamat pendidikan dasar (SD, SLB, MI, SLTP dan MTs).
Data pekerjaan
responden digolongkan menjadi dua kelompok yaitu, responden yang mempunyai
pekerjaan dan responden yang tidak mempunyai pekerjaan
(menganggur/sekolah/pensiun). Pengelompokan tersebut dilakukan karena data
Susenas 2004 yang digunakan tidak dapat menggambarkan distribusi pekerjaan yang
sebenarnya di Propinsi NTT. Berdasarkan pengelompokan tersebut, diperoleh persentase
rata-rata responden yang bekerja adalah 68,68% dengan pendapatan rata-rata tiap
rumah tangga Rp 488.714/bulan.
Variabel umur
dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok umur responden kurang dari 60
tahun dan kelompok umur responden lebih dari atau sama dengan 60 tahun.
Berdasarkan pengelompokan umur responden yang dilakukan, diperoleh rata-rata
umur responden adalah 39 tahun.
Kepemilikan Asuransi Kesehatan
Distribusi
penduduk menurut Menurut Karakteristik Demografi, jarak, keberadaan transportasi
umum, wilayah, kebutuhan kesehatan dan Kepemilikan Asuransi terlihat
dalam Tabel 1. Tabel 1 menjelaskan
beberapa hal.
|
Pada variabel
umur, ada perbedaan signifikan antara responden yang berumur di bawah 60 tahun
dengan yang berumur 60 tahun ke atas dalam hal kepemilikan Jamsostek. Perbedaan kepemilikan tipe asuransi ini
antara dua kelompok tersebut sangat mencolok, bahkan didapati bahwa ternyata tidak
seorang penduduk pun yang berusia 60 tahun ke atas memiliki asuransi tipe ini.
Untuk Kartu Sehat, walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun
pada kelompok umur 60 tahun keatas, kepemilikan asuransi tipe ini jauh lebih
banyak. Hal sebaliknya ditemukan dalam kepemilikan Askes. Walaupun tidak
signifikan, namun kepemilikan Askes penduduk yang berumur dibawah 60 tahun
lebih banyak dari mereka yang berusia 60 tahun keatas. Dari data-data tersebut
disimpulkan bahwa variabel umur hanya berpengaruh terhadap kepemilikan asuransi
tipe Jamsostek.
Kepemilikan
asuransi pada variabel jenis kelamin hampir merata antara laki-laki dan
perempuan. Tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan
kepemilikan asuransi. Demikian pula halnya dengan pekerjaan, ukuran keluarga
dan status perkawinan. Namun demikian dari tabel terlihat bahwa ada perbedaan
yang cukup besar antar kategori dalam variabel-variabel tersebut, hal tersebut
dapat dilihat sebagai berikut : walaupun tidak signifikan, namun kepemilikan
asuransi pada penduduk yang tidak bekerja ternyata lebih banyak bila dibanding
dengan penduduk yang bekerja. Perbedaan ini terlihat lebih nyata dalam tipe
asuransi Askes, Jamsostek dan JPKM.
Demikian juga
dengan variabel ukuran keluarga. Rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga
kurang dari 5 orang memiliki asuransi tipe Askes yang lebih banyak dari rumah
tangga dengan jumlah anggota 5 orang ke atas. Namun untuk tipe asuransi
Jamsostek, JPKM dan Kartu Sehat, tidak ada perbedaan yang berarti dalam
kepemilikan asuransi kesehatan. Jadi dapat dikatakan bahwa ukuran keluarga
tidak berhubungan dengan kepemilikan asuransi.
Pada variabel status perkawinan, kepemilikan Askes terbesar ada pada
penduduk yang telah menikah, dan terkecil pada penduduk yang pernah mengalami
perceraian. Hal ini sangat berbeda dengan kepemilikan kartu sehat. Kepemilikan asuransi tipe ini paling banyak
pada penduduk yang pernah mengalami perceraian dan paling sedikit pada penduduk
yang belum pernah menikah.
Tingkat
pendidikan berhubungan dengan kepemilikan asuransi pada semua tipe kecuali
JPKM. Hubungan antara tingkat pendidikan
dengan kepemilikan asuransi sangat signifikan pada tipe asuransi Askes. Pada
tipe asuransi Askes dan Jamsostek, makin tinggi pendidikan, semakin banyak
penduduk yang memiliki asuransi kesehatan. Di lain pihak, kepemilikan Kartu
Sehat makin menurun seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Walaupun
demikian, ada sebagian kecil penduduk yang termasuk dalam kelompok pendidikan
menengah dan tinggi yang mendapatkan kartu sehat.
Pada variabel
tingkat pendapatan (dengan proxy kuintil pengeluaran), didapatkan pula
hubungan dengan kepemilikan asuransi tipe Askes. Dalam hubungan antara tingkat
pendapatan dengan kepemilikan Askes diketahui bahwa makin tinggi pendapatan,
makin banyak Askes yang dimiliki. Bahkan pada Askes, proporsi range kepemilikan
asuransi sangat berbeda antar kuintil. Pada kuintil 1 (paling miskin), tidak
ada penduduk yang memiliki Askes. Tetapi pada kuintil 5
(paling kaya), kepemilikan Askes mencapai 16,20% dari total kepemilikan Askes.
Fenomena yang sama terlihat juga dalam Jamsostek. Namun tidak seperti pada
Askes, proporsi range kepemilikan asuransi tidak jauh berbeda (0 untuk kelompok
termiskin dan 0,98 untuk kelompok terkaya). Pada JPKM tidak terlihat perbedaan yang berarti antar kuintil pengeluaran.
Dari tabel juga terlihat bahwa kepemilikan Kartu Sehat hampir sama antar
kuintil pengeluaran. Juga dapat diketahui bahwa 51% kepemilikan asuransi pada
kelompok terkaya (Q5) adalah dari kartu sehat. Sedangkan 74% kepemilikan
asuransi kesehatan pada kelompok kaya (Q4) adalah juga dari kartu sehat.
Variabel jarak,
keberadaan kendaraan umum dan wilayah sangat berhubungan dengan kepemilikan
asuransi Askes dan Jamsostek. Jika penduduk tinggal di kota, dengan jarak
kurang dari 2 km dari fasilitas pelayanan kesehatan dan tempat tinggalnya
terjangkau oleh kendaraan umum, maka kepemilikan Askes dan Jamsostek akan
tinggi. Hal ini kontras dengan kepemilikan kartu sehat. Tipe jaminan kesehatan
ini secara signifikan terkonsentrasi di daerah pedesaan, yang tidak terjangkau
oleh kendaraan umum. Demikian pula dengan JPKM, walaupun tidak signifikan,
namun menunjukkan bahwa makin ke daerah pedesaan, makin banyak penduduk yang
memiliki JPKM.
Selanjutnya, pada
variabel keluhan kesehatan,tingkat keparahan penyakit, perilaku beresiko
(merokok) dan riwayat/pengalaman kesehatan, tidak ditemukan berhubungan dengan
kepemilikan asuransi kesehatan.
PEMBAHASAN
Keterbatasan
Penelitian
Dalam penelitian
ini penilaian responden terhadap kebutuhan kesehatannya sangat subjektif. Hal ini terlihat dari keluhan responden, yang
belum tentu sesuai dengan pendapat professional medis. Kelemahan lain dari cara
pengukuran ini adalah pengukuran dilakukan oleh mantri statistik dan mitranya,
yang bukan tenaga kesehatan sehingga ada kemungkinan kekurangpahaman dalam
penggalian data yang terkait dengan kesehatan.
Mutu data dipengaruhi oleh ketrampilan pengumpul data dalam menggali
informasi, mengingat data merupakan kejadian pada kurun waktu satu bulan (untuk
semua data) sampai satu tahun terakhir (khusus data rawat inap). Jadi ada
kemungkinan terjadi recall bias.
Selain itu, karena data yang digunakan adalah data sekunder, maka tidak
semua data yang diperlukan dapat diperoleh. Ada beberapa variable bebas yang
terpaksa tidak dimasukkan dalam analisis karena tidak mewakili keadaan yang
sebenarnya.
Kepemilikan Asuransi Kesehatan
Tingginya
kepemilikan kartu sehat berkaitan dengan banyaknya masyarakat tidak mampu di
propinsi ini. Sedangkan rendahnya kepemilikan asuransi tipe Jamsostek,
disebabkan karena Propinsi NTT tidak mempunyai banyak sektor swasta (seperti
industri, perusahaan-perusahaan) yang secara formal mampu memberikan asuransi
kesehatan bagi tenaga kerjanya. Lagi
pula dari hasil analisis (Tabel 1), diketahui bahwa tidak seorangpun dari
masyarakat di kelompok usia 60 tahun ke atas yang memiliki asuransi tipe ini.
Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel umur berhubungan negatif
dengan kepemilikan asuransi tipe Jamsostek. Hal ini disebabkan karena pada
kelompok usia demikian, masyarakat yang bekerja di sektor swasta tersebut telah
pensiun sehingga dengan sendirinya mereka tidak dijamin lagi. Ini sangat disayangkan karena justru pada
usia-usia demikian, di saat penghasilan yang diperoleh jauh berkurang atau
bahkan tidak ada sama sekali dan dengan kondisi kesehatan yang terus menurun,
para pensiunan pekerja swasta pada kelompok umur inilah yang justru sangat
memerlukan asuransi kesehatan. Untuk itu
dengan meningkatnya jumlah kelompok umur lanjut usia, yang memiliki
probabilitas sakit yang lebih tinggi namun dengan sumber dana yang jauh lebih
terbatas, pemerintah dan swasta perlu bergandengan tangan untuk memikirkan
adanya kebijakan khusus yang menjamin para lansia mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhannya (Thabrany dan Pujianto, 2000).
Distribusi
asuransi kesehatan cukup merata antar jenis kelamin, pekerjaan, ukuran keluarga
dan status perkawinan. Tidak ditemukan
adanya hubungan dengan kepemilikan asuransi.
Namun yang menarik adalah walaupun tidak signifikan, namun kepemilikan
asuransi pada penduduk yang tidak bekerja ternyata lebih banyak dibanding
dengan penduduk yang bekerja. Hal ini kontras dengan hasil Hjortsberg
(2003). Perbedaan ini terlihat lebih
nyata dalam tipe asuransi Askes, Jamsostek dan JPKM. Hal ini bisa saja terjadi karena pada
beberapa tipe asuransi, misalnya Askes, bukan hanya pesertanya saja yang
dijamin, namun juga pasangannya, dan 2 orang anak yang berusia di bawah 21
tahun atau 25 tahun jika anak tersebut masih sekolah. Jadi walaupun tidak bekerja, namun kelompok
masyarakat ini berhak untuk dijamin oleh asuransi Askes.
Pada variabel
status perkawinan, kepemilikan Askes terbesar ada pada penduduk yang telah
menikah, dan terkecil pada penduduk yang pernah mengalami perceraian. Besarnya kepemilikan Askes pada penduduk yang
telah menikah ini lebih disebabkan oleh banyaknya responden yang telah menikah
(67,30%). Lagi pula bagi mereka yang
telah menikah, jika pasangannya adalah peserta Askes, maka dengan sendirinya
mereka berhak untuk mendapatkan asuransi kesehatan juga (sebagai
tertanggung). Namun pada kepemilikan
kartu sehat, terjadi sebaliknya, walaupun tidak besar. Kepemilikan asuransi
tipe ini paling banyak pada penduduk yang pernah mengalami perceraian dan
paling sedikit pada penduduk yang belum pernah menikah.
Tingkat
pendidikan dan pendapatan berhubungan dengan kepemilikan asuransi. Namun hubungan itu tidak sama. Pada tipe
asuransi Askes, hubungan ini positif, artinya seiring dengan meningkatnya
tingkat pendidikan dan pendapatan, kepemilikan Askes pun semakin
meningkat. Namun sebaliknya pada kartu
sehat, terjadi hubungan negatif. Dengan
meningkatnya tingkat pendidikan, kepemilikan asuransi semakin menurun. Demikian juga dengan pendapatan, walaupun
pada pendapatan, hubungan negatif ini tidak signifikan. Hal ini terjadi karena kedua sifat asuransi
ini berbeda. Kartu sehat merupakan jenis jaminan kesehatan (asuransi
kesehatan) yang diberikan oleh pemerintah bagi masyarakat yang tidak mampu dalam
rangka meningkatkan akses mereka terhadap kesehatan. Sedangkan Askes tidak. Askes merupakan
asuransi yang wajib diikuti oleh seluruh pegawai pemerintahan, dan atau oleh
mereka yang ingin memiliki asuransi, yang akan membayar premi asuransinya
sendiri (Askes sukarela). Selain itu,
pada masyarakat dengan tingkat pendidikannya tinggi, biasanya bisa mendapatkan
pekerjaan pada sektor formal, yang dapat memberikan jaminan kesehatan dan
tingkat pendapatan yang lebih baik. Bahkan pada penduduk dengan tingkat pendapatan
yang tinggi, dengan kesadaran sendiri, membeli asuransi kesehatan bagi mereka
maupun keluarga mereka. Ini menyebabkan kepemilikan asuransi juga
meningkat. Sedangkan pada penduduk yang
memiliki kartu sehat sebaliknya. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil
penelitian Vera-Hernandez (1999), yang menyatakan bahwa pendidikan dan
pendapatan adalah determinan yang penting baik dalam permintaan pelayanan
kesehatan maupun keputusan untuk memiliki asuransi.
Dari Tabel 1 juga
terlihat bahwa kepemilikan kartu sehat hampir sama antar kuintil
pengeluaran. Hal ini berarti tidak ada
perbedaan kepemilikan kartu sehat antar berbagai tingkat pendapatan. Bahkan 51% kepemilikan
asuransi pada kelompok terkaya (Q5) adalah dari kartu sehat. Demikian juga dengan kelompok masyarakat kaya
(Q4), yang kepemilikan kartu sehatnya mencapai 74%. Padahal kartu sehat adalah jaminan kesehatan
yang diberikan oleh pemerintah bagi keluarga tidak mampu secara ekonomi. Di sini terlihat bahwa
distribusi kartu sehat ini tidak tepat sasaran (Setyowati dan Lubis,
2003). Pada tingkat nasional, persentase
kartu sehat yang tidak tepat sasaran ini bahkan mencapai 23%
(http://www.litbang.depkes.go.id).
Pada umumnya,
layanan kesehatan, perkantoran/industri, maupun berbagai kegiatan lainnya terkonsentrasi
di wilayah perkotaan. Daerah perkotaan
juga menawarkan banyak kemudahan untuk mengakses berbagai hal, dengan adanya
dukungan transportasi umum. Untuk daerah
NTT, dengan kondisi geografi yang tidak menguntungkan (karena bergunung-gunung
dan memiliki banyak pulau), semua ini menjadi daya tarik bagi penduduk untuk
tinggal di sekitar daerah perkotaan, tidak jauh dari berbagai fasilitas yang
ada. Semua ini menyebabkan tingginya
kepemilikan asuransi ASKES dan Jamsostek pada wilayah kota, dengan jarak kurang
dari 2 km dan ketersediaan transportasi umum.
Hal ini kontras
dengan kepemilikan kartu sehat. Tipe
jaminan kesehatan ini secara signifikan terkonsentrasi di daerah pedesaan, yang
tidak terjangkau oleh kendaraan umum.
Semua ini berkaitan dengan sifat asuransi tersebut, yang lebih ditujukan
pada kalangan ekonomi tidak mampu, yang sebagian besar berdomisili di daerah
pedesaan.
Keluhan
kesehatan, tingkat keparahan penyakit, perilaku beresiko (merokok) dan
riwayat/pengalaman kesehatan tidak berhubungan dengan kepemilikan asuransi
kesehatan. Walaupun demikian, ditemukan
adanya gejala peningkatan kepemilikan asuransi pada penduduk yang mempunyai
keluhan kesehatan, yang merasa terganggu dengan gejala sakit yang ada dan yang
memiliki riwayat/pengalaman sakit kronis/kecelakaan. Untuk sementara, selain
karena keterbatasan penelitian ini, juga berbagai pengaruh kebiasaan atau
budaya setempat ikut memberi warna pada hasil penelitian. Keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman warga masyarakat yang cenderung untuk berpikir dan
berbuat untuk waktu sekarang, menyebabkan perhatian untuk waktu yang akan
datang kurang. Adapula perilaku pasrah terhadap kondisi yang ada tanpa upaya
keras untuk keluar dari masalah yang dihadapi. Kebiasaan gotong royong atau
saling membantu membuat warga masyarakat juga kurang daya juang untuk mandiri;
di sisi lain, ada juga warga masyarakat yang lebih individualistis dan kurang
suka bekerja sama. Hal-hal ini mengakibatkan warga masyarakat kurang peduli
terhadap asuransi yang dapat melindungi diri dan keluarganya ketika sakit.
Karena itu, sosialisasi tentang asuransi sebagai suatu upaya menjamin hari esok
yang lebih sejahtera harus terus digalakkan oleh semua pihak yang peduli.
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepemilikan asuransi di
Propinsi NTT adalah umur (untuk Jamsostek), tingkat pendidikan dan wilayah
(untuk semua tipe asuransi kecuali JPKM), pendapatan (untuk Askes), serta jarak
dan transportasi (untuk Askes dan Jamsostek).
Adapun saran yang
dapat diberikan adalah (1)Pemerintah dan swasta perlu bergandengan tangan untuk
memikirkan adanya kebijakan khusus yang menjamin para lansia mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai kebutuhannya; (2)Karena ada indikasi distribusi
kartu sehat kurang tepat sasaran maka pengawasan perlu ditingkatkan baik oleh
pemerintah, pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat; (3)Perlu dilakukan sosialisasi
tentang asuransi agar pola pikir dan pola tindak masyarakat berubah sehingga
lebih memperhatikan kesejahteraan hari depan.
DAFTAR RUJUKAN
Biro Pusat Statistik (2004). SUSENAS
2004: Pedoman Pencacah Kor. BPS, Jakarta.
Biro Pusat Statistik (2003). SUSENAS
2004: Pedoman Modul Perumahan dan Pemukiman Kesehatan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Depkes RI, Jakarta.
Biro Pusat Statistik (2003). Statistik
Indonesia 2002. BPS, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2001). Indonesia Sehat 2010. Depkes RI, Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2002). Profil Kesehatan Indonesia 2001. Depkes RI, Jakarta.
Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, 2003. Profil
Kesehatan Nusa Tenggara Timur 2002. Dinkes, Kupang.
Handayani, L., Siswanto, Nirmala A. Ma’ruf dan Dwi Hapsari (2003). Pola Pencarian
Pengobatan di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 31 (1): 33-47.
Hidayat,
B., Hasbullah T., Hengjin D and Rainer S (2004). The Effect of Mandatory
Health Insurance on Equity in Access to Outpatient Care in Indonesia . Health Policy and
Planning, 19 (5): 332-335.
Hjortsberg, C (2003).
Why Do the Sick People Not Utilise Health Care? The Case of Zambia .
Health Economics, 12 : 755-770.
Hsia, J., et al
(2000). Is Insurance a More Important Determinant of Health Care Access Than
Received Health? Evidence From Womens’s Health Initiative. Journal of
Womens’s Health and Gender-Based Medicine, 9 (8): 881-889.
Liu GG, Zhao Z, Cai R, Yamada T and Yamada T (2002). Equity in Health Care
Access To: Assessing The Urban Health Insurance Reform in China . Soc Sci Med, 5(10):
1779-1794.
Newacheck, P.W., et al
(1998). Health Insurance and Access to Primary Care for Children. Special
Article. Massachusetts
Medical Society, 338(8): 513-519.
Sulastomo
(1997). Asuransi Kesehatan dan Managed Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia, Jakarta.
Thabrany, H dan Pujianto (2000). Asuransi Kesehatan
dan Akses Pelayanan Kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia, 50 (6) : 282 –
289
Thabrany, Hasbullah (2002). Asuransi Kesehatan di
Indonesia. Edisi Kedua. Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan UI, Depok
The
Health Insurance Association of America
(HIAA) (2000). The Health Insurance Primer. An Introduction to How Health
Insurance Works. HIAA, Amerika.
Yulianingsih
(2001). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Pada Keluarga Miskin di Propinsi Jawa Barat Tahun 1999. Skripsi. FKM UI, Depok.
Yuliawati (2002). Faktor-Faktor Sosiodemografi Yang
Berhubungan Dengan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Pada Masyarakat Banten Tahun
2001. Skripsi
FKM UI, Depok.
Waters,
H.R (1999). Measuring The Impact of Health Insurance With Correction For
Selection Bias-A Case Study of Ecuador .
Health Economics 8: 473-483.
Vera-Hernandez,
A,M (1999). Duplicate Coverage and Demand For Health Care: The Case of Catalonia . Health
Economics 8: 579-598.
Artikel Elektronik:
BPS, Bappenas (2001). Indonesia, Laporan Pembangunan
Manusia 2001; Menuju Konsensus Baru: Demokrasi dan Pembangunan Manusia di
Indonesia. Ringkasan Eksekutif. Di akses 7 April 2005.
JPKM Online (28 Maret 2005). Artikel. Diakses 7 April 2005. http://64.233.187.104/
search?q=cache:ytrgI7hd1AAJ:www.jpkm-online.net/++site:www.jpkm-online.net+%22JPK+Gakin%22&hl=id
Kompas (08 Maret 2005). Askes Penduduk Miskin Mulai Dibagi. Artikel.
Diakses 7 April 2005, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/08/humaniora/ 1604477.htmsama
Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025 (2005). Di akses 11 April 2005. http://www.bappenas.go.id/pnData /ContentExpress /PJP/04%20Draft%20RPJP%20(Final)%204%20Feb%202005.doc.
Riyadi, S., Trisa W. Putri dan Sarimawar Djaja (2001). Pembinaan
Perkembangan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan di Indonesia dan Pola
Pemanfaatannya pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Makalah. Di
akses 7 april 2005. http://www.who.or.id/
ind/products/ow6/sub2/display.asp?id=4
Susenas, 2005. Hasil Awal Susenas 2004. Di akses 30 Juli 2005. http://www.litbang.depkes.go.id
Tim SURKESNAS NIHRD Badan Litbang Kesehatan
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (2001). Laporan Data Susenas
2001 : Status Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Perilaku Hidup Sehat dan
Kesehatan Lingkungan. Di akses 7
April 2005. http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-2001-tim-817-susenas.
Waspada Online (2 Maret 2004). Baru 21% Penduduk
Memiliki Jaminan Kesehatan. Artikel. Di akses 5 April 2005. http://www.waspada.co.id/ cetak/index.php?article_id=39319
0 Responses to “insurance ownership, adjusted wald test, susenas”
Posting Komentar