BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Landasan
Teori
2.1.1 Teori
Kebutuhan Dasar Manusia dan Masalah Kesehatan
Kebutuhan
manusia sangatlah beragam dari kebutuhan yang paling mendasar (fisiologis) yang
lebih diarahkan pada upaya mempertahankan kelangsungan hidup sampai dengan
kebutuhan manusia akan keindahan. Upaya pengklasifikasian kebutuhan manusia
telah banyak dilakukan oleh psikolog,antara lain oleh Abraham Maslow pada tahun 1970 dengan hipotesisnya kebutuhan
diorganisir sedemikian rupa untuk menetapkan prioritas dan hierarki
kepentingan. Menurut Maslow terdapat lima tingkatan kebutuhan yang berjajar
dalam prioritas dari urutan terendah hingga urutan yang tertinggi.
Tingkatan-tingkatan ini masuk kedalam tiga tingkatan kategori dasar, yaitu (1)
kelangsungan hidup dan keamanan, (2) interksi manusia, cinta dan afilasi, (3)
aktualisasi diri (kompetensi, ekspresi diri dan pengertian).
Hierarki Kebutuhan Manusia Menurut Maslow
:
I.
Keindahan (Aesthetic), kepuasan estetika.
II.
Pengetahuan (Knowledge),
kebutuhan memahami dan mengetahui.
III.
Aktualisasi diri (Self Fullfillment),
kebutuhan akan pemenuhan diri.
IV.
Penghargaan (Esteem), kebutuhan
akan harga diri, reputasi, prestise dan status.
V.
Cinta dan rasa memiliki (Belonginess
and Love), kebutuhan akan kasih sayang, rasa memiliki dalam sebuah kelompok,
dan rasa diterima dalam keluarga.
VI.
Keamanan (Safety), kebutuhan akan
rasa aman, perlindungan dan tata tertib.
VII.
Fisiologis (Physiological),
kebutuhan akan makanan, minuman, seks, kesehatan dan perumahan.
Maslow
mengidentifikasikan hierarki tujuh tingkatan kebutuhan yang disusun berjenjang
dengan urutan manusia. Orang akan tetap berada dalam sebuah tingkat
kebutuhannya dalam tingkat itu terpuaskan. Kemudian kebutuhan yang baru muncul
pada tingkat yang lebih tinggi. Untuk kebutuhan pengetahuan dan keindahan
diidentifikasikan Maslow sebagai tambahan kebutuhan kognitif bagi sejumlah
orang yang memenuhi kebutuhan aktualisasi diri.
Dalam
konteks kebutuhan Maslow, kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis
yang paling mendasar di samping kebutuhan fisiologis lainnya seperti makan,
minum dan perumahan. Menurut Mills dan Gilson (1990) kesehatan merupakan suatu
kebutuhan (need) yang diartikan secara umum yang merupakan perbandingan
antara situasi nyata dan standar teknis tetentu yang telah disepakati. Selain
itu juga kesehatan merupakan kebutuhan yang dirasakan (felt need) yaitu
kebutuhan yang dirasakan sendiri oleh individu. Sehingga keputusan untuk
memanfaatkan suatu pelayanan kesehatan merupakan pencerminan kombinasi normatif
dan kebutuhan yang dirasakan.
Masalah
kesehatan saat ini di Indonesia, kesehatan merupakan masalah yang masih terus
diupayakan oleh pemerintah kita saat ini. hal ini dikarenakan indonesia
merupakan negara yang masih rawan terjangkit berbagai macam penyakit dan saat
ini masih terus diupayakan contohnya: malaria, demam berdarah, kaki gajah, dan
sampai sekarang masih terus diwaspadai adalah flu burung dan flu babi.
Dan
sampai sekarang pun Indonesia merupakan salah satu negara terawan terjangkit
penyakit manapun yang berbahaya bagi warga negara kita. masalah utamanya adalah
kesadaran masyarakat kita yang masih kurang peduli dan penyuluhannya pun masih
jarang dilakukan dengan alasan masalah anggaran dan sulitnya tempat yang
jangka.
2.1.2
Teori Permintaan
Jumlah
suatu komoditi yang bersedia dibeli individu selama periode waktu tertentu
merupakan fungsi dari atau tergantung pada harga komoditi itu, pendapatan nominal
individu, harga komoditi lain, dan selera individu. Atas dasar harga komoditi
yang tertentu tadi, sementara pendapatan nominal individu, selera dan harga
komoditi lain dianggap konstan (asumsi ceteris paribus) kita peroleh skedul
permintaan individu untuk komoditi itu. (Salvatore)
Seseorang dalam
usaha memenuhi kebutuhannya, pertama kali yang akan dilakukan adalah pemilihan
atas berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan. Selain itu juga dilihat apakah
harganya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Jika harganya tidak sesuai,
maka ia akan memilih barang dan jasa yang sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Perilaku tersebut sesuai dengan hukum permintaan (Samuelson & Nordhaus, 1992), yang
mengatakan bahwa bila harga suatu barang atau jasa naik, maka ceteris
paribus jumlah barang dan jasa yang diminta konsumen akan mengalami
penurunan. Dan sebaliknya bila harga dari suatu barang atau jasa turun, maka ceteris
paribus jumlah barang dan jasa yang dimintai konsumen akan mengalami
kenaikan.
Permintaan suatu
barang di pasar akan terjadi apabila konsumen mempunyai keinginan (willing)
dan kemampuan (ability) untuk membeli , pada tahap konsumen hanya
memiliki keinginan atau kemampuan saja maka permintaan suatu barang belum
terjadi, kedua syarat willing dan ability harus ada untuk
terjadinya permintaan (Turner, 1971)
dalam (Salma, 2004).
Kurva permintaan
merupakan suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan antara harga sesuatu
barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta para pembeli. Kurva
permintaan ini pada umumnya menurun dari kiri atas ke kanan bawah. Bentuk kurva
permintaan yang demikian dikarenakan sifat hubungan antara harga dan jumlah
yang diminta. Sifat hubungan keduanya merupakan hubungan yang terbalik, jika
salah satu variabel naik (misal harga), maka variabel yang lainnya (misal
jumlah yang diminta) akan turun.
Teori pilihan
rasional mengadopsi pendekatan ilmu ekonomi dalam menjelaskan perilaku sosial
sebagai peristiwa-peristiwa pertukaran. Dalam perspektif ini perilaku orang
akan dilihat berdasarkan kemampuannya mempertimbangkan cost dan reward
dari pilihan tindakan yang akan dilakukannnya. Sifat dasar manusia adalah
mencari kebahagiaan dan menghindari kesulitan. Ini dapat dijelaskan dari
perspektif pilihan rasional. Sebuah tindakan hanya bisa disebut rasional jika
penghargaan yang didapat lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Kalau dalam
ekonomi reward itu bisa berarti laba, dalam peristiwa sosial lain ia
bisa berupa kebahagiaan, kesenangan, kepuasan karena mendapatkan penghargaan
atau tidak mendapatkan hukuman atas tindakannya tersebut. Kalau sebuah tindakan
menghasilkan penghargaan, maka kemungkinan besar tindakan lama akan diulang (Becker, 1968 dalam Indah Susilowati, 1999).
Dalam teori
pilihan rasional, seorang individu termotivasi oleh kemauan atau tujuan yang
menggambarkan pilihan mereka. Sangat mungkin bagi seseorang individu untuk
mendapatkan semua keinginan atau pilihan mereka, mereka juga harus membuat
pilihan untuk mewujudkan keinginan mereka dan apa konsekuensi yang akan mereka
dapatkan. Teori pilihan rasional digunakan untuk menghitung apa yang terbaik
yang mesti dilakukan seorang individu. Seorang individu memilih untuk menjadi
pengguna jasa layanan kesehatan formal seperti rumah sakit, praktek dokter,
puskesmas, poliklinik. Mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih
dibandingkan dengan tidak menjadi pengguna jasa layanan kesehatan formal (Becker, 1968 dalam Indah Susilowati, 1999).
Pada
dasarnya setiap individu cenderung untuk memaksimalkan keuntungannya. Seorang
individu menjadi pengguna jasa layanan kesehatan formal (rumah sakit, praktek
dokter swasta, puskesmas, poliklinik, dan lain-lain) jika kepuasan yang
didapatkannya melampaui kepuasan yang ia dapatkan dari waktu dan sumber daya
lainnya yang telah mereka gunakan. Seorang individu menjadi pengguna jasa
layanan kesehatan formal (rumah sakit, praktek dokter swasta, puskesmas,
poliklinik, dan lain-lain) bukan karena motivasi dasar mereka berbeda-beda dari
individu lainnya, tetapi karena perbedaan benefit and cost yang
akan mereka dapatkan. Keterlibatan dalam memanfaatkan jasa layanan kesehatan
formal menjadi penting karena benefit and cost yang akan mereka
dapatkan dari berbagai aktivitas.
Tindak berobat terjadi ketika individu memutuskan
untuk menjadi pengguna jasa layanan kesehatan formal (rumah sakit, praktek
dokter swasta, puskesmas, poliklinik, dan lain-lain) setelah memikirkan
kebutuhannya untuk mendapatkan layanan dan fasilitas kesehatan atau keuntungan
lainnya yang lebih. Sebelum memutuskan untuk berobat,
seorang individu juga memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya, seperti biaya
mahal, layanan kesehatan tidak maksimal, dan oportunitas ekonomi yang ia
dapatkan dari berobat. Pengguna akan memilih suatu keputusan bila dianggap
keputusan itu memberikan lebih banyak keuntungan daripada kerugiannnya.
Sebagai individu
yang rasional, pengguna akan memilih berobat ke layanan kesehatan formal (rumah
sakit, praktek dokter swasta, puskesmas, poliklinik, dan lain-lain) karena
mereka telah memperkirakan manfaat yang akan mereka peroleh adalah masih
menguntungkan dari resiko atau konsekuensi yang harus ditanggap bila layanan
kesehatan formal tidak maksimal (Becker,
1968 dalam Indah Susilowati, 1999).
2.1.3
Masalah Kesehatan dalam Pandangan Ilmu Ekonomi
2.1.3.1
Aspek Ekonomi dan kebijakan di Sektor Kesehatan
Ilmu
ekonomi merupakan suatu ilmu yang mengkaji tentang bagaimana individu disisi
masyarakat melakukan pilihan. Dilihat dengan atau tanpa menggunakan sarana alat
tukar (uang) guna memanfaatkan sumber daya yang langka dalam menghasilkan
berbagai barang dan jasa, dan mendistribusikannya diantara mereka bagi
keperluan konsumsi, pada waktu sekarang atau dimasa yang akan datang, diantara
berbagai individu dan kelompok–kelompk masyarakat (Samuelson, 1979). Dari penjelasan tesebut, ada 1 hal yang masalah
utama yang dihadapi manusia disegala bidang yaitu memanfaatkan segalanya atau scarcity.
Dari masalah utama itulah, lahir 2 alasan yang mendasari
kehadiran ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
Pertama, adanya keterbatasan sumber daya bagi kehidupan, masyarakat,
organisasi dan setiap individu. Kedua, kenyataan bahwa kebutuhan (needs) dan
keinginan (wants) manusia dan masyarakat tidak dapat terpenuhi dengan
sempurna. Dari kedua alasan tersebut naka proses pilihan harus dilakukan. Dari
pengertian pilihan/choice tersebut maka lahirlah konsep tentang opportunity
cost. Opportunity cost mengandung pengertian pengorbanan. Menyadari
keterbatasan sumber daya ekonomi, maka pilihan pengalokasian sumber daya
tersebut bagi suatu kegiatan akan mengakibatkan hilangnya manfaat dari
pengunaan sumber daya tersebut untuk kegiatan lainnya (Lee & Mills, 1984) dalam (Mills
& Gilson 1990). Konsep ini mengarahkan untuk menentukan nilai moneter
pada “biaya” atau cost secara khusus.
Langkanya tenaga
medis dalam melayani sejumlah besar penduduk merupakan suatu contoh adanya
unsur kajian ekonomi dalam kesehatan. Contoh lain misalnya, bagaimana needs dan
wants individu untuk sehat dapat terpenuhi bila dihadapkan pada sejumlah
alternatif pilihan pelayanan kesehatan dengan sejumlah biaya atas pelayanan
kesehatan tersebut. Selain itu, masih banyak lagi beberapa konsep dan isu
ekonomi yang relevan bagi bidang kesehatan.
Dalam sektor kesehatan, inovasi yang muncul adalah dalam perubahan dalam
skema pembiayaan pemberian layanan (Rokx
et al, 2009; Septyandrica dan Ardhyanti, 2009; Nurman dan Martiani,
2008).
Secara umum, bentuk inovasi tersebut bisa dipilah menjadi dua kelompok
besar, yaitu pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar (fee waiver) di
puskesmas dan puskesmas pembantu bagi
semua warga yang menggunakan layanan dan
penyelenggaraan jaminan kesehatan daerah berbasis asuransi (baik itu
kelola maupun melalui kerja sama dengan pihak ke tiga) bagi seluruh warga.
Dua bentuk kebijakan ini merupakan inovasi karena dua hal. Pertama,
kebijakan ini telah menggeser pendekatan pelayanan kesehatan di daerah dari
orientasi sisi penyediaan (supply side) ke orientasi sisi permintaan (demand
side). Dalam pendekatan penyediaan, kebijakan lebih menitikberatkan pada
pembangunan infrastruktur kesehatan dan perbanyakan tenaga medis (Triwibowo,
2008). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa jika jumlah fasilitas pelayanan
kesehatan tersedia dengan mencukupi dan warga memiliki pengetahuan yang memadai
tentang pentingnya kesehatan maka warga dengan sendirinya akan menggunakan
fasilitas tersebut dan layanan yang disediakannya. Pendekatan ini mengabaikan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan dan kesediaan (ability and
willingness) warga untuk mengakses layanan tersebut, seperti daya beli
warga. Pendekatan permintaan, sebaliknya, berusaha mempengaruhi tingkat
permintaan warga terhadap fasilitas dan layanan kesehatan melalui pemberian
insentif atau subsidi bagi peningkatan daya beli terhadap layanan yang
dibutuhkan (Triwibowo, 2008). Kedua, kebijakan tersebut memperluas
cakupan pendekatan sisi permintaan kepada seluruh warga. Pendekatan universal
ini merupakan pergeseran dari pendekatan residual yang telah dan tengah
dikembangkan oleh pemerintah pusat. Seperti yang diuraikan Nurman dan Martiani
(2008), sejak krisis ekonomi tahun 1997–1998, pemerintah telah berupaya
mengembangkan berbagai bentuk kebijakan dengan pendekatan sisi permintaan.
Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS–BK) pada tahun 1998, JPK
Gakin pada tahun 2001, Asuransi Kesehatan untuk Rakyat Miskin (Askeskin) pada
tahun 2005, maupun Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada tahun 2008
lebih ditujukan pada kelompok masyarakat miskin (Nurman dan Martiani, 2008).
2.1.3.2
Permintaan
Kesehatan dan Pelayanan dalam Konteks Ekonomi
Prinsip
dasar teori ekonomi menyatakan bahwa suatu barang atau jasa sebagai faktor
produksi mempuyai harga dapat ditukar dengan barang lain atau mempunyai
kegunaan dan bersifat langka (jumlah yang tersedia sangat sedikit dibandingkan
dengan jumlah yang dibutuhkan). Debreu
(1959) dalam Palutturi (2005)
mengemukakan bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai komoditas bila memiliki
sifat temporary (mempunyai jangka
waku penggunaan), spatially
(membutuhkan tempat untuk memakainya), dan physically
(mempunyai ukuran, jam kerja tertentu dalam pemakaiannya).
Kriteria
tersebut dimiliki oleh pelayanan kesehatan dan karenanya dapat dikatakan
sebagai komoditas ekonomi yang dikonsumsi individu atau rumah tangga. Adanya
demand terhadap pelayanan kesehatan menurut Grossman (1972) karena kesehatan merupakan komoditas yang harus
dibeli (consumption commodity) sebab
dapat membuat pembelinya merasa dirinya lebih baik dan nyaman. Kesehatan
dianggap sebagai suatu investasi (investment
commodity) artinya bila keadaan sehat maka semua waktu yang tersedia dapat
digunakan secara produktif sehingga secara tidak langsung merupakan investasi.
Meskipun
pelayanan kesehatan merupakan suatu komoditas ekonom, namun memiliki perbedaan
dengan komoditas ekonomi pada umumnya karena adanya karakteristik tersendiri
berupa; demand terhadap pelayanan kesehatan timbul akibat adanya permintaan
kesehatan yang baik, dimana meningkatnya umur seseorang bisa merupakan mulai
menurunnya kondisi kesehatan yang lebih baik; demand terhadap pelayanan
kesehatan mempunyai faktor-faktor eksogen antara lain ketidak tahuan
pasien-pasien sehingga penderita mendelegasikan keputusannya kepada petugas
kesehatan (dokter/paramedik), faktor penghasilan pemakai jasa pelayanan dan
sebagainya; dan demand terhadap pelayanan kesehatan melibatkan banyak hal,
antara lain penyediaan dan tingkat keterampilan petugas kesehatan yang ada,
dimana peran ganda yang dimilikinya (penyedia layanan medis dan wakil pasien)
dapat menciptakan motif ekonomi berupa pelayanan kesehatan yang
berlebih-lebihan (unnecessary procedure)
Amran Razak (2000) dalam Haeruddin (2007).
Beberapa
faktor yang mempengaruhi demand pelayanan kesehatan yaitu faktor kebutuhan yang
berbasis pada aspek fisiologis, penilaian pribadi akan status kesehatannya,
variabel-variabel ekonomi seperti : tarif, ada tidaknya sistem asuransi, dan
penghasilan, serta variabel-variabel demografis dan organisasi. Disamping
faktor-faktor tersebut masih ada faktor lain misalnya: pengiklanan, pengaruh
jumlah dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, serta pengaruh inflasi, Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Palutturi
(2005).
Faktor
pertama dan kedua sangat erat hubungannya. Kebutuhan berbasis pada aspek
fisiologis menekankan pentingnya keputusan petugas medis yang menentukan perlu
tidaknya seseorang mendapatkan pelayanan medik. Keputusan petugas medik ini
akan mempengaruhi penilaian seseorang akan status kesehatannya. Dari situasi
ini maka demand pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi.
Faktor-faktor ini dapat diwakilkan dalam pola epidemiologi yang seharusnya
diukur berdasarkan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi data epidemiologi yang ada
sebagian besar menggambarkan puncak gunung es. Yaitu demand, bukan kebutuhan (needs).
Menurut
Santerre dan Neun (2000) dalam Andhika
(2010), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah permintaan
pemeliharaan pelayanan kesehatan (Quantity demanded) seperti harga
pembayaran secara langsung oleh rumah tangga, pendapatan bersih (real
income), biaya waktu (time cost), termasuk di dalamnya adalah biaya
(uang) untuk perjalanan termasuk muatan bis atau bensin di tambah biaya
pengganti untuk waktu, harga barang substitusi dan komplementer, selera dan
preferensi, termasuk di dalamnya status pernikahan, pendidikan dan gaya hidup,
phisik dan mental hidup, status kesehatan serta kualitas pelayanan (quality
of care).
Menurut
Mills & Gilson (1990) dalam Andhika (2010), hubungan antara teori
permintaan dengan pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang sangat
dipengaruhi oleh pendapatan, sarana dan kualitas pelayanan kesehatan.
Pendapatan memiliki hubungan (asosiasi) dengan besarnya permintaan akan
pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Harga
berperan dalam menentukan permintaan terhadap pemeliharaan kesehatan.
Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang
berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi.
Sulitnya pencapaian sarana pelayanan kesehatan secara fisik akan menurunkan
permintaan. Kemanjuran dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan sangat
berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk meminta pelayanan dan pemberi
jasa tertentu.
Ada
2 pendekatan yang lazim digunakan dalam membahas permintaan (demand)
terhadap pelayanan kesehatan. Pertama yaitu teori agency relationship atau
yang lebih dikenal dengan supplier - induced demand model. Sedangkan
pendekatan yang kedua yaitu investment model yang diajukan oleh Grossman (1972).
a.
Supplier Induced Demand
Istilah ini menggambarkan suatu
keadaan dimana seorang dokter menetapkan demand pasiennya dengan cara tidak
berbasis pada need. Penetapan ini
dilakukan dengan basis usaha meningkatkan demand dari tingkat yang seharusnya.
Dengan demikian istilah terjemahannya adalah “dokter meningkatkan demand”
pasiennya.
Supplier Induced Demand
terjadi akibat tidak seimbangnya informasi yang ada pada dokter pasiennya (McGuire et.Al. 1998) dalam Palutturi (2005). Berbasis pada
pendidikan dan pengalamannya dokter lebih menguasai informasi keluhan penyakit
yang diderita oleh pasien dibanding si pasien sendiri. Akibat ketidakseimbangan
pengetahuan ini maka hubungan kerja menjadi berat ke arah keuntungan dokter.
Keadaan ini terjadi terutama pada sistem pembayaran free-for-service. Apabila tidak pada etik yang kuat, maka dengan
mudah akan terjadi penyimpangan profesi seperti: diperiksanya pasien dengan USG
walaupun secara medis tidak memerlukan pemeriksaan tersebut.
Dengan bergesernya sifat rumah sakit
menjadi suatu lembaga ekonomi, maka risiko penyimpangan profesi akan semakin
tinggi akibat tuntutan investasi. Pada kasus diatas. Apabila pembelian USG
dilakukan atas dasar pinjaman kredit bank, maka kaidah-kaidah investasi harus
diperhatikan misalnya melalui pay-back
period. Prinsip bahwa “bangsal rumah sakit harus diisi” dapat mendorong
terjadinya Supplier Induced Demand.
b.
Supplier Reduced Demand
Istilah
ini mencerminkan keadaan dimana justru dokter atau rumah sakit menetapkan
demand di bawah yang seharusnya. Pada kasus pasien yang seharusnya diperiksa
menggunakan USG. Akan tetapi mungkin re-imburstment
asuransi kesehatan yang dimiliki perusahaan tersebut memberikan ganti rugi yang
di bawah unit cost pemerikasaan USG. Rumah sakit akan rugi jika menggunakan USG
untuk pasien tersebut.
Secara
perhitungan ekonomi, tidak diperiksanya dengan USG akan menghindarkan rumah
sakit dari kerugian. Dengan demikian need pasien tersebut tidak dapat terwujud
sebagai demand.
Contoh
lain adalah pada system pembayaran rumah sakit yang berbasis pada anggaran.
Apabila rumah sakit dapat menyelenggarakan pelayanan di bawah anggaran,
misalnya 90% maka 10% sisanya dapat masuk sebagai jasa rumah sakit. Dengan
konsep seperti ini rumah sakit akan mempunyai insentif untuk melakukan Supplier Reduced Demand.
Perbedaan
utama antara kedua pendekatan tersebut ada pada asumsinya tentang kedudukan
pasien dalam model tersebut. Pada pendekatan pertama, peranan pasien begitu
kecil dibandingkan pada ahli kesehatan/dokter dalam membentuk permintaan
terhadap jasa pelayanan kesehatan. Sementara Grossman menyatakan bahwa konsumen (pasien) cukup memiliki
informasi dan kebebasan dalam menentukan permintaannya.
Pelayanan
kesehatan berbeda dengan barang dan pelayanan ekonomi lainnya. Pelayanan
kesehatan atau pelayanan medis sangat heterogen, terdiri atas banyak sekali
barang dan pelayanan yang bertujuan memelihara, memperbaiki, memulihkan
kesehatan fisik dan jiwa seorang. Karena sifatnya yang sangat heterogen, pelayanan
kesehatan sulit diukur secara kuantitatif.
Beberapa
karakteristik khusus pelayanan kesehatan yaitu intangibility, inseparability, inventory, dan inkonsistensi (Santerre dan
Neun, 2000) dalam Andhika (2010).
Intangibility merupakan karakteristik
pelayanan kesehatan yang tidak bisa dinilai oleh panca indera. Konsumen
(pasien) tidak bisa melihat, mendengar, membau, merasakan, atau mengecap
pelayanan kesehatan. Inseparability yaitu karakteristik
dimana produksi dan konsumsi pelayanan kesehatan terjadi secara simultan
(bersama). Makanan bisa dibuat dulu, untuk dikonsumsi kemudian. Tindakan
operatif yang dilakukan dokter bedah pada saat yang sama digunakan oleh pasien.
Inventory merupakan karakteristik
dimana pelayanan kesehatan tidak bisa disimpan untuk digunakan pada saat
dibutuhkan oleh pasien nantinya. Inkonsistensi
merupakan karakteristik pelayanan
kesehatan dimana komposisi dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima
pasien dari seorang dokter dari waktu ke waktu, maupun pelayanan kesehatan yang
digunakan antar pasien, bervariasi.
Jadi pelayanan kesehatan sulit diukur
secara kuantitatif. Biasanya pelayanan kesehatan diukur berdasarkan
ketersediaaan (jumlah dokter atau tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk)
atau penggunaan (jumlah konsultasi atau pembedahan per kapita).
Hubungan
antara keinginan kesehatan permintaan akan pelayanan kesehatan hanya
kelihatannya saja yang sederhana, namun sebenarnya sangat kompleks. Penyebab
utamanya karena persoalan kesenjangan informasi. Menerjemahkan keinginan sehat
menjadi konsumsi pelayanan kesehatan melibatkan berbagai informasi tentang
berbagai hal, antara lain; aspek status kesehatan saat ini, informasi status
kesehatan yang lebih baik informasi tentang macam pelayanan yang tersedia,
tentang kesesuaian pelayanan tersebut, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan
karena permintaan pelayanan kesehatan mengandung masalah uncertainty (ketidakpastian),
sakit sebagai ciri-ciri persoalan kesehatan merupakan suatu ketidakpastian.
Keduanya, imperfect information dan uncertainty merupakan
karakteristik umum dari permintaan kesehatan dan pelayanan kesehatan.
2.2
Hubungan
Antara Pendapatan,
Biaya/Harga
Kunjungan, Jarak, Kualitas Layanan dan Jenis
Penyakit terhadap Permintaan Layanan Kesehatan Masyarakat
2.2.1
Pengaruh
Pendapatan terhadap Permintaan Layanan Kesehatan Masyarakat.
Pendapatan
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak permintaan terhadap
berbagai barang. Perubahan pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap
permintaan berbagai jenis barang.
Ada hubungan
(asosiasi) antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan akan
pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Jika
pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan bergeser kekanan sehingga
jumlah barang dan jasa kesehatan meningkat. Pada masyarakat berpendapatan
rendah, akan mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah kebutuhan akan
barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000 dalam Andhika 2010; Mills & Gilson,1990).
Sebagian besar
pelayanan kesehatan merupakan barang normal di mana kenaikan pendapatan
keluarga akan meningkatkan demand untuk pelayanan kesehatan. Akan tetapi ada
kecenderungan mereka yang berpendapatan tinggi tidak menyukai pelayanan
kesehatan yang menghabiskan banyak waktu. Hal ini diantisipasi oleh rumah
sakit-rumah sakit yang menginginkan pasien dari golongan mampu. Masa tunggu dan
antrean untuk mendapatkan pelayanan medis harus dikurangi (Palutturi, 2005).
Kerangka teori
yang mendasari penelitian ini adalah teori konsumsi dan ekonomi kesejahteraan
merurut Pindyck dan Rubinfeld (1998). Untuk mecapai
kesejahteraan tertentu individu akan mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa,
yang dalam hal ini konsumsi jasa ditekankan dalam bentuk pelayanan kesehatan.
Kurva kepuasan konsumsi barang dan kesehatan menjelaskan bahwa kepuasan
seseorang ditentukan oleh konsumsi kesehatan dan konsumsi barang yang dibatasi
oleh garis pendapatan.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat pendapatan dan biaya pelayanan kesehatan akan juga
berpengaruh terhadap jumlah pelayanan kesehatan yang diminta. Jika pendapatan
meningkat, maka garis pendapatan akan bergeser ke kanan sehingga jumlah barang
dan kesehatan meningkat. Meningkatnya konsumsi barang dan kesehatan
berimplikasi pada meningkatnya kesejahteraan individu tersebut. Jadi dalam hal
ini konsumsi kesehatan ditentukan oleh besarnya tingkat pendapatan. Oleh karena
itu faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan juga akan mempengaruhi
konsumsi kesehatan. Faktor tersebut antara lain biaya jasa kesehatan dan jarak
tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan serta jumlah tanggungan
keluarga.
Faktor lainnya
yang mempengaruhi konsumsi kesehatan sangat banyak, terutama yang berhubungan
dengan keadaan sosial ekonomi, dan budaya seperti tingkat pendidikan,
pengetahuan, pengalaman dan kebiasaan. Besar kecilnya kekayaan dapat
mempengaruhi konsumsi kesehatan. Misalnya pada masyarakat yang berpendapatan
rendah, akan mencukupi kebutuhan barang lebih dulu, setelah kebutuhan akan barang
tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan. Faktor yang berpengaruh langsung
terhadap pendapatan, misalnya biaya yang terkait dengan jasa pelayanan
kesehatan, menjadikan biaya jasa pelayanan kesehatan naik. Keadaan ini
menurunkan konsumsi kesehatan, karena dengan naiknya biaya kesehatan akan
menurukan pendapatan relatif, yaitu pendapatan tetap sementara biaya kesehatan
naik.
Menurut Miler dan Meineres (1997), Engel
sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian
Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan Hukum
Engel. Keempat butir kesimpulannya yang dirumuskan tersebut adalah jika
pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin
kecil, persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak
tergantung pada tingkat pendapatan, persentase pengeluaran untuk konsumsi
keperluan rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan dan
jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan,
kesehatan, rekreasi, barang mewah dan tabungan semakin meningkat.
2.2.2
Pengaruh
Biaya atau Harga Kunjungan terhadap Permintaan Rumah Sakit Umum Pemerintah Di
kota
Makassar
Harga berperan dalam menentukan
permintaan terhadap jasa pemeliharaan kesehatan. Biaya atau harga pelayanan
kesehatan dengan permintaan jasa pelayanan kesehatan berpengaruh negatif.
Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang
berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi (Santerre & Neun, 2000; Mills &
Gilson, 1990).
Sangat penting untuk dicatat bahwa hubungan negatif ini secara
khusus terlihat pada keadaan pasien mempunyai pilihan. Pada pelayanan rumah
sakit, tingkat demand pasien sangat dipengaruhi oleh dokter. Keputusan dari dokter
sangat mempengaruhi dalam length of stay,
jenis pemeriksaan, keharusan untuk operasi, dan lain-lain. Pada keadaan yang
membutuhkan penanganan medis segera maka faktor biaya mungkin tidak berperan
dalam mempengaruhi demand. Hubungan biaya dengan demand yang bersifat negatif
pada pelayanan rumah sakit terutama pada pelayanan yang bersifat efektif (Sukri,
2005).
2.2.3
Pengaruh
Jarak terhadap Permintaan Layanan Kesehatan Masyarakat
Jarak antara tempat tinggal dengan
tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan
kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh tempat tinggal dari
tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Ini telah sesuai dengan teori
permintaan yaitu jika barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang yang
dibeli akan semakin sedikit (Andersen et
al,1975; Mills & Gilson, 1990).
2.2.4
Pengaruh Kualitas Layanan terhadap Permintaan
Layanan Kesehatan Masyarakat
Kualitas
layanan kesehatan
berpengaruh positif terhadap permintaan layanan kesehatan, kualitas layanan meliputi
penilaian mengenai keputusan dokter, penanganan medis yang dilakukan, tingkat
kemanjuran, dll. Semakin tinggi kualitas layanan yang diberikan maka semakin
tinggi permintaan terhadap pelayanan kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson, 1990).
2.2.5
Pengaruh Pengobatan Alternatif terhadap
Layanan Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Obat
alternatif merupakan komoditas yang dapat menggantikan fungsi dari biaya atau
harga kunjungan ke rumah sakit sehingga harga komoditas pengganti dapat
mempengaruhi permintaan komoditas yang dapat digantikannya.
Pada
umumnya bila harga komoditas pengganti bertambah murah maka komoditas yang
digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan. Adanya barang
pengganti (subsitusi) dari suatu barang/jasa dapat mengubah jumlah permintaan,
kemudian berpengaruh pada harga dan penawaran. Munculnya barang pengganti yang
lebih murah, kemungkinan besar akan mendorong sebagian besar konsumen untuk
memilih barang subsitusi tersebut (Sugiarto: 2005).
2.2.6
Pengaruh
Jenis Penyakit terhadap Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Jenis penyakit
mempengaruhi permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan
Semakin berat
jenis penyakit seseorang, akan lebih meningkatkan permintaannya terhadap jasa
pelayanan kesehatan. Sebab semakin kompleks penyakit yang dideritanya berarti
semakin tinggi pula penanganan yang harus dilakukan yang berarti akan
meningkatkan permintaan terhadap jasa pelayanan kesehatan
2.3
Penelitian Terdahulu
Untuk menunjang penelitian ini, telah
dilakukan beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu dimulai
pada tahun 1980-an. Ascobat (1981)
membuktikan adanya pengaruh-pengaruh yang signifikan dari variabel-variabel
tertentu terhadap permintaan pelayanan kesehatan tertentu. Pengeluaran per
kapita, misalnya mempengaruhi kecenderungan untuk memanfaatkan (berkunjung) ke
fasilitas pelayanan kesehatan tradisional atau modern. Semakin tinggi
pengeluaran per kapita maka semakin besar kemungkinan si individu untuk memilih
dan mampu membayar pelayanan kesehatan modern dibandingkan pelayanan kesehatan
tradisional. Faktor harga atau biaya kunjungan juga mempengaruhi tingkat
kunjungan ke fasilitas pelayanan. Fasilitas modern umumnya menetapkan biaya
yang relatif lebih tinggi dibandingkan fasilitas tradisonal di dalam kelompok
fasilitas modern sendiri ada perbedaan biaya antara fasilitas kesehatan swasta
yang relatif lebih tinggi biayanya dibandingkan fasilitas kesehatan publik
milik pemerintah. Perbedaan harga tersebut terjadi karena pada fasiltas
kesehatan permerintah umumnya terdapat sejumlah subsidi kesehatan.
Hasil penelitian yang sudah dilakukan di Indonesia diantaranya I Dewa Gede Karma (2003) melakukan
penelitian serupa dimana faktor–faktor sosial demografis dan ekonomis yaitu
jenis kelamin (gender), daerah tempat tinggal, umur, pendidikan, pengeluaran
per kapita, dan harga kunjungan pelayanan kesehatan terbukti mempengaruhi
permintaan delapan pelayanan kesehatan dengan tingkat determinasi yang
berbeda-beda. Joko Mariyono, dkk (2005)
melakukan studi yang komprehensif menemukan bahwa ketimpangan akses pelayanan
kesehatan antara kaum wanita dan pria cukup kecil, bahkan kaum wanita
mendapatkan proporsi yang lebih besar. Deolikar
(1992) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi permintaan pelayanan kesehatan pada anak-anak, yaitu faktor umur,
pendidikan orang tua (ayah dan ibu), urutan anak dalam keluarga, ada tidaknya
akte kelahiran, jumlah anggota keluarga, serta akses menuju pelayanan
kesehatan. Emy Poerbandari (2003) melakukan penelitian tentang faktor yang
mempengaruhi penggunaan jaminan pemeliharaan kesehatan oleh rumah tangga
peserta Jamsostek di Kota Semarang. Dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif dan analisis regresi. Model regresi dengan variabel independen tingkat
pendidikan, jumlah anggota keluarga inti, pendapatan, jumlah anak usia rawan,
biaya kunjungan, kualitas pelayanan dan lingkungan kerja dipakai untuk menduga
variabel dependen intensitas penggunaan jaminan pemeliharaan kesehatan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa variabel jumlah anggota keluarga inti, jumlah anak
usia rawan, dan kualitas pelayanan mempengaruhi intensitas penggunaan jaminan
pemeliharaan kesehatan. Sugiarti (2005)
melakukan penelitian dimana dalam penelitian tersebut diketahui bahwa variabel
pendapatan, lokasi, dan kualitas pelayanan kesehatan mempengaruhi intensitas
penggunaan jaminan pemeliharaan kesehatan sedangkan variabel tingkat
pendidikan, jumlah keluarga, biaya dan resiko lingkungan kerja tidak mampu
mempengaruhi permintaan pengunaan jaminan pemeliharaan kesehatan. Sri Retno Miranti (2009) dalam
penelitiannnya juga menyebutkan bahwa penggunaan layanan kesehatan di kota
Semarang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menentukan yaitu pendapatan,
biaya kunjungan layanan kesehatan, jarak tempat tinggal dengan sarana
kesehatan.
2.4 Kerangka
Pemikiran
Berdasarkan kajian studi
pustaka dan penelitian terdahulu, maka dapat disusun kerangka pemikiran
teoritis yaitu variabel independen yaitu pendapatan, biaya/harga kunjungan,
jarak, dan kualitas layanan yang berpengaruh terhadap permintaan layanan
kesehatan masyarakat miskin sebagai variabel dependen. Kerangka pemikiran
penilitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran Teoritis
![]() |
|
|
|
|
|
|

|

2.5 Hipotesis
Adapun
hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga pendapatan dan kualitas layanan berpengaruh positif terhadap permintaan layanan
kesehatan masyarakat pada rumah sakit umum pemerintah di Kota Makassar, biaya
atau harga kunjungan dan jarak berpengaruh negatif terhadap permintaan layanan
kesehatan masyarakat pada rumah sakit umum pemerintah di Kota Makassar
0 Responses to “Contoh Makalah Kesehatan | Teori Kebutuhan Dasar Manusia dan Masalah Kesehatan”
Posting Komentar